idealis atau apatis

.
.
IDEALIS ATAU APATIS
.
Deru angin masih terasa di pipi, nafas – nafas sesak masih ditemani gigil tubuh yang sangat saat kita sejenak beristirahat sesampai di sisi barat Ranu Kumbolo. Begitu khas suasana disekeliling kita, begitu berbeda dari hiruk – pikuknya Tol Lingkar Jakarta atau gemerlapnya jalan Legian Bali. Sejenak kita rogoh kembali ruang di lubuk hati kita untuk menikmati suasana yang begitu nyaman, tenteram dan damai di Ranu Kumbolo dengan cercah – cercah kerlip cahaya lentera dihampir setiap sisi danau tersebut. Cahaya – cahaya tersebut seakan sangat bersahabat dengan seluruh lekukan dan isi alam yang ada. Sejenak kita sadar akan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Nusantara, tersebar dari pulau Weh dengan pasir dan taman lautnya hingga pegunungan Jaya Wijaya dengan puncak ketujuh dalam daftar “World Seven Summits”. Rogohlah ruang kosong dihati kita agar kita bisa selalu mengingat saat – saat yang tidak akan kita miliki setiap hari tersebut.
.
Suasana shanti (damai) tersebut terasa telah membelai kita terlalu dini, saat kita sadar bahwa kigiatan malam ini baru saja dimulai. Setumpuk keharusan telah terpampang nyata dan membuat seluruh anggota tim kembali menyimpan rapi segala tumpukan kedamaian yang ada dan kembali bergegas berusaha sedaya upaya mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan, walaupun hampir seluruh kemampuan moral dan raga kita telah terlalu terkuras untuk melanjutkan. Sebuah tenda telah didirikan dititik yang sangat kita kenal bersama, titik dimana dua hari yang lalu berdiri kokoh tiga tenda dengan berjuta rasa dan warna kebersamaan, Titik tersebutlah malam ini telah berdiri sebuah tenda yang tidak akan pernah ditemani oleh dua tenda lainya.
.
Memilih adalah rutinitas kita sehari – hari yang terkadang sangat tidak kita nikmati. Aplagi jika kita harus memilih dengan mengorbankan diri kita atau orang lain, atau terkadang memilih adalah pekerjaan yang sangat mudah dan mengasikkan, tetapi tidak kali ini, kali ini kita telah dihadapkan oleh dua pilihan yang cenderung akan menggaris bawahi diri kita dengan kesan antara idealis atau apatis. Pilihan yang terkadang tidak akan kita pilih salah satu atau keduanya, namun itu jika kita bisa, namun malam ini kita harus memilih antara (satu) mendirikan tenda disisi barat Ranu Kumbolo dan menghuninya, karena itulah alasan kenapa kita sejauh ini telah datang, atau (dua) tidak mendirikan tenda tetapi memberdayakan shelter semipermanen yang tersedia sebagai sarana tempat menginap. Sangatlah damai jika kita bersama memilih salah satu dari pilihan yang tesedia tersebut, akan tetapi kita telah tercerai-berai, kita telah sombong, kita telah lupa akan kata “kita” sehingga kita terbagi menjadi dua jenis manusia, manusia yang tidak terlihat lebih baik antara satu dengan yang lainya, tidak terlihat sama sekali ! dan kedua jenis manusia tersebut hanya memperburuk suasana beku bertambah parah dengan menggali jurang pemisah yang sangat dalam dan gelap antara tenda dan shelter yang hanya terpisah sejauh jengkal mata memandang.
.
Ketika lampu – lampu lentera semakin meredup, ketika mata kita semakin murung dan kantuk, ketika tubuh tergeletak seperti batang pisang yang kaku dan dingin, ketika jiwa terkuras untuk segala hal yang menyesakkan, ketika itu satu persatu dari kita hanyut oleh belaian alam yang damai menyusuri alam tidur yang seakan – akan tidak pernah memperdulikan jurang curam yang terbentang antara kita yang semakin saat semakin dalam dan pekat. Belaian alam itu jualah yang memupuk harapan kita akan esok pagi yang cerah, secerah mentari pagi di ufuk timur Ranu Kumbolo.
.
~
.
.